Tautan-tautan Akses

KPK Tolak Ide Pemberian Remisi untuk Koruptor


Pelaksana tugas pemimpin KPK Johan Budi memberikan keterangan di Kejaksaan Agung (17/3). (VOA/Andylala Waluyo)
Pelaksana tugas pemimpin KPK Johan Budi memberikan keterangan di Kejaksaan Agung (17/3). (VOA/Andylala Waluyo)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, wacana pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman bagi narapidana kasus korupsi merupakan langkah mundur.

Menanggapi pendapat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman bagi narapidana kasus korupsi harus diperketat karena hal itu merupakan langkah mundur dalam gerakan pemberantasan korupsi.

Meski menjadi kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM, Pelaksana Tugas (Plt) Pemimpin KPK Johan Budi mengatakan pemberian remisi harus diperketat agar menimbulkan efek jera.

"Peraturan Pemerintah No. 99/2012 itu kan dalam rangka memperketat pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana berat, apakah itu korupsi, narkoba atau terorisme. Saya kira menjadi langkah mundur kalau PP itu justru akan diabaikan. Jadi tidak ada persyaratan yang lebih ketat," ujarnya di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/3).

"Kami di KPK berharap agar pemberian remisi tidak dipermudah tapi justru harus diperketat."

KPK, tambahnya, siap jika diminta masukan oleh Menkumham namun hingga saat ini belum diundang untuk membahas masalah ini.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengusulkan agar terpidana korupsi, terorisme dan narkoba mendapat remisi atau keringanan hukuman karena pemberian remisi bagi setiap napi adalah hak.

"Filosofi bahkan prinsip dasar dari pemberian remisi yang ada dalam Undang-undang No. 12/1995 mengenai lembaga pemasyarakatan itu hak. Jadi narapidan itu punya hak remisi, punya hak untuk pembebasan bersyarat, pendidikan, pelayanan, semuanya ada. Jadi PP yang ada belakangan ini kan sebagai reaksi, itu kemudian dibuat PP baru yang malah membuat diskriminasi," ujarnya.

"Ini harus dikaji, supaya tidak ada yang bertentangan dengan undang-undang dan hal-hal yang bersifat diskriminatif. Filosofi pemidanaan kita tidak lagi filosofi pembalasan atau pencegahan, tapi perbaikan."

Selain itu, Yasonna juga mengusulkan agar ada pemberatan hukuman bagi para napi koruptor tanpa harus menghilangkan hak mereka sebagai warga binaan negara. Ia mengatakan sudah berupaya mengundang para pakar atau lembaga termasuk KPK untuk mendiskusikan hal ini.

"Katakanlah misalnya ada napi koruptor, dia tidak kooperatif. Nah itu bisa menjadi alasan pemberatan hukuman, hakim yang memutuskan besaran hukumannya. Lalu kalau misalnya korupsi nya Rp 2 milyar, ya udah, Rp 2 milyar harus dibayar tapi kemudian ditambah pemberatan. Hukuman badan tetap jalan tapi jangan hilangkan hak dia sebagai narapidana dalam pembinaan," ujarnya.

Johan berpendapat wacana pemberian remisi bagi koruptor ini belum dapat dikatakan sebagai upaya pelemahan terhadap KPK yang telah berupaya maksimal dalam pemberantasan korupsi. Sebab, menurut Johan, upaya pemberantasan korupsi bukan hanya dilakukan oleh KPK, tetap juga dilakukan oleh lembaga hukum lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.

Indonesia berada di peringkat 107 dalam Indeks Korupsi 2014 dari badan Transparency International (TI) atau naik tujuh peringkat dari tahun sebelumnya.

TI mencatat, KPK adalah ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan data KPK selama tahun 2014, kasus korupsi paling banyak ditemukan di kementerian atau lembaga pemerintah, yakni mencapai 23 kasus.

Urutan kedua ditempati pemerintah kabupaten/kota dengan 13 kasus, disusul pemerintahan provinsi dengan 11 kasus dan DPR dengan dua kasus korupsi.

Recommended

XS
SM
MD
LG