Tautan-tautan Akses

Kontras: Uji Materi UU Pengadilan HAM untuk Lawan Impunitas


Presiden Jokowi didampingi Wapres Jusuf Kalla di Istana Merdeka, Jakarta (foto: dok). Aktivis HAM kecewa dengan janji kampanye Jokowi-JK untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terlaksana hingga kini.
Presiden Jokowi didampingi Wapres Jusuf Kalla di Istana Merdeka, Jakarta (foto: dok). Aktivis HAM kecewa dengan janji kampanye Jokowi-JK untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terlaksana hingga kini.

Aktivis Kontras mengatakan, pengajuan uji materi (judicial review) terhadap Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM), merupakan salah satu cara untuk melawan impunitas.

Dua orang tua korban pelanggaran hak asasi manusia baru-baru ini mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka adalah Ruyati Darwin, ibunda Eten Karyana salah satu korban pada kerusuhan Mei 1998 dan Payan Siahaan, ayah Ucok Munandar, yang diduga diculik dan dihilangkan paksa sekitar tahun 1997.

Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang sekaligus salah satu kuasa hukum dari korban, Chrisbiantoro, Jumat (26/6) mengatakan bahwa pengajuan uji materi terhadap Undang-undang tentang pengadilan HAM ini merupakan salah satu cara untuk melawan impunitas.

Para korban dan juga Kontras bersama lembaga hak asasi manusia lain lanjut Crisbiantoro merasa tidak ada lagi optimisme soal penuntasan kasus-kasus HAM di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla .

Hal tersebut dikarenakan saat ini banyak pelaku-pelaku pelanggar HAM yang justru diberikan keistimewaan oleh Presiden Jokowi, seperti Hendropriyono yang disebut oleh Komnas HAM terlibat kasus Talang Sari, Lampung, dan juga Sutiyoso yang disebut terlibat dalam kasus kerusuhan 27 Juli 1996.

Mantan Kepala BIN itu dan mantan Gubernur DKI tersebut merupakan tim pemenangan Jokowi-JK ketika kampanye presiden lalu.

Crisbiantoro mengatakan, "Pak Hendropriyono justru mempunyai keistimewaan komunikasi dengan pak Jokowi. Menantunya menjadi Paspampres, kemudian anaknya mendapatkan proyek. Kemudian (sekarang) Sutiyoso menjadi kandidat ketua BIN, Prabowo sangat diperhitungkan dan sebagainya, tidak sesuai dengan janjinya ketika kampanye (Nawacita) dan kami menyimpulkan bahwa pak Jokowi tidak bisa banyak diharapkan."

Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Talangsari, Lampung, tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi. Keenam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni, peristiwa Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan kasus penembakan misterius ("Petrus").

Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap ketujuh kasus pelanggaran HAM ini tetapi tidak ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Menurut Crisbiantoro, Kasus ini dianggap telah ditelantarkan sehingga para pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar.

Selanjutnya, Crisbiantoro menjelaskan hak-hak pemohon tambahnya menjadi tidak dapat dipenuhisepertikepastian hukum atas nasib keluarga anak-anak atau keluarga inti mereka yang hilang yang meninggal sejak pelanggaran HAM berat itu terjadi.

Dia menyatakan para keluarga korban tersebut memintaMahkamah Konstitusi untuk menyatakan UU Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan konstitusi.

"Harus ada kepastian hukum dong. Jadi tafsirnya Mahkamah Konstitusi nantinya diharapkan dapat dipakai untuk meminta kelanjutan dari penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab Jaksa Agung untuk melanjutkan penyelidikan," tegas Crisbiantoro.

Sementara, Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan hari Senin (22/6) mengatakan, pemerintah saat ini sedang mencari format yang baik dalam menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu lanjutnya harus tuntas. Menurutnya dalam penyelesaian kasus ini, Indonesia akan belajar dari pengalaman Afrika Selatan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

"Kan sudah lama kita harapkan seperti Afrika Selatan, masa forgive and forget nggak bisa, tentu kan nanti dicari formatnya. Saya belum tahu berapa lama tetapi keinginan Presiden (untuk) rekonsiliasi itu mesti ada. Kita mari menatap masa depan yang lebih baik," kata Luhut Panjaitan.

Wakil Koordinator Bidang Advokasi, Kontras YatiAndriyani mengungkapkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut melalui mekanisme yudisial dan non yudisial.

Dalam melakukan rekonsiliasi kata Yati, seharusnya pemerintah menempuh beberapa tahap yang harus dilalui yaitu pengungkapan kebenaran, ada proses keadilannya dan ada pemulihan korban terlebih dahulu.

Recommended

XS
SM
MD
LG