Tautan-tautan Akses

Konferensi AIDS di Afrika Berakhir


Seorang pria berjalan melewati banner Hari AIDS Sedunia di Johannesburg, Afrika Selatan, 1 Desember 2014.
Seorang pria berjalan melewati banner Hari AIDS Sedunia di Johannesburg, Afrika Selatan, 1 Desember 2014.

Konferensi internasional mengenai AIDS dan penyakit menular akibat hubungan seksual yang berlangsung sepekan penuh di Afrika, berakhir di Harare, ibukota Zimbabwe.

Para peneliti kedokteran, pegiat HIV dan pejabat kesehatan dari seluruh benua bertemu di konferensi yang dikenal dengan ICASA, guna mencari cara untuk mencapai Afrika yang bebas dari AIDS.

PBB mengatakan, sudah ada kemajuan yang mengesankan dalam upaya melawan HIV/AIDS, dan badan dunia itu mengatakan, mengakhiri epidemi itu pada tahun 2030 adalah prospek yang realistis. Menteri kesehatan Zimbabwe, David Parirenyatwa mengatakan, pengobatan segera bagi siapa saja yang didiagnosa HIV adalah salah satu langkah utama menuju sasaran itu.

"Jadi sekarang waktunya untuk melangkah maju dan melaksanakan resolusi yang telah diikrarkan di sini. Tes dan perawatan HIV telah berhasil dengan bagus sekali. Jadi, kalau Anda dites dan mengidap HIV positif, langsung harus dirawat. Apakah kita mampu melakukannya di Afrika? Di sinilah masyarakat internasional berperan. Di sini mobilisasi sumber daya berperan," ujar Parirenyatwa.

Awal pekan ini, kelompok bantuan medis Dokter Lintas Batas merilis sebuah laporan yang mengatakan, Afrika menghadapi kekurangan obat Anti Retro Viral, atau ARV.

Kekurangan itu cenderung akan semakin memburuk akibat panduan baru Organisasi Kesehatan Dunia, WHO. Panduan itu menghapus semua pembatasan bagi pemberian terapi anti retroviral kepada pasien HIV, jika tesnya positif maka orang itu harus segera mendapatkan perawatan.

Koordinator global AIDS Amerika, Duta Besar Deborah Birx, adalah salah satu delegasi ke konferensi ICASA itu.

Dia mengatakan, Rencana Darurat Presiden Amerika untuk bantuan AIDS atau PEPFAR, telah menyumbangkan dana tambahan untuk beberapa negara Afrika guna membantu mereka mematuhi panduan baru ini. Dia mengatakan beberapa negara terpaksa mengelola sendiri tanpa pendanaan yang memadai.

"Kami sangat gembira, jika Anda melihat selama dasawarsa terakhir apa yang dilakukan Afrika Selatan, melakukan investasi guna mengatasi wabah itu, jika Anda melihat apa yang telah dilakukan Namibia untuk mengendalikan pandemik, apa yang senantiasa dilakukan Botswana. Jadi ada negara-negara di benua ini yang memiliki sumber daya dan jelas-jelas menerapkan sumber daya itu untuk mengontrol epidemi di negara-negara mereka. Kami yakin bahwa semakin banyak negara membuat investasi seperti itu," ujar Birx.

Negara-negara Afrika adalah penandatangan Deklarasi Abuja tahun 2001, yang menyatakan bahwa 15 persen dari anggaran masing-masing negara harus dialokasikan untuk pengeluaran kesehatan.

Tapi banyak negara gagal memenuhi janji itu, termasuk Zimbabwe, di mana sebagian besar anggaran dihabiskan untuk pertahanan, upah pegawai negeri sipil, dan biaya perjalanan bagi pejabat tinggi pemerintah. [ps/jm]

XS
SM
MD
LG