Tautan-tautan Akses

Kelangkaan Pangan Bisa Perparah Wabah HIV/AIDS


Isu-isu HIV dan kelangkaan pangan bukan merupakan masalah Afrika saja, tetapi juga kondisi-kondisi yang sama terjadi di antara warga miskin di Amerika Utara, termasuk kota-kota seperti San Fransisco, Atlanta, Boston, dan Vancouver (foto: dok).
Isu-isu HIV dan kelangkaan pangan bukan merupakan masalah Afrika saja, tetapi juga kondisi-kondisi yang sama terjadi di antara warga miskin di Amerika Utara, termasuk kota-kota seperti San Fransisco, Atlanta, Boston, dan Vancouver (foto: dok).

Kelangkaan pangan dan HIV berinteraksi seperti lingkaran setan hingga memperburuk tingkat keparahan dan kerentanan pada kondisi lain.

Dr. Sheri Weiser mengatakan, ketika orang jatuh sakit akibat HIV, memperoleh makanan menjadi “semakin lebih sulit.”

“Kelangkaan pangan dan HIV berinteraksi seperti lingkaran setan hingga memperburuk tingkat keparahan dan meningkatkan kerentanan pada kondisi lain,” paparnya.

Dr. Sheri Weiser, asisten guru besar ilmu kedokteran di Pusat Trauma dan Rumah Sakit Umum San Fransisco – Divisi HIV-AIDS, dan juga peneliti utama, mengatakan,“Kami mulai memperoleh data dari Botswana dan Swaziland yang menunjukkan bahwa kelangkaan pangan meningkatkan risiko praktik-praktik seksual. Jadi, kita melihat kaum perempuan bersedia melakukan hubungan seks sebagai ganti untuk mendapatkan makanan bagi anak-anak mereka, atau memiliki kesulitan untuk memaksakan penggunaan kondom ketika mereka berhubungan dengan pasangannya demi memperoleh makanan. Kelangkaan pangan ini juga memperburuk kerentanan kekerasan seksual. Semua ini berkontribusi memicu HIV.”

Seseorang yang tertular HIV akan diperparah dengan buruknya gizi. Ini merupakan pukulan tambahan bagi sistem kekebalan tubuh.

“Kami melihat bahwa kelangkaan pangan memicu peningkatan kesempatan terjadinya penularan, memperburuk reaksi tubuh terhadap perawatan, menyulitkan orang untuk minum obat dan mematuhi penggunaan obat-obatan mereka, dan bahkan memicu peningkatan jumlah kematian. Yang menarik, kami melihat hal ini tidak saja terjadi di sub-Sahara Afrika, tetapi juga di San Fransisco dan di beberapa tempat lain di Amerika Utara,” papar dokter Weiser lagi.

Siklus ini berlanjut ketika orang jatuh sakit dan tidak memiliki pekerjaan untuk membeli makanan. Stigma HIV menjadikan lebih sulit memperoleh dukungan dari orang lain.

Dr. Sheri Weiser mengatakan, pada awal penelitiannya ada beberapa tingkat kelangkaan pangan pada 80% mereka yang tertular HIV. Ini mulai berubah ketika mereka diberi terapi anti-retroviral atau ART.

Dr. David Bangsberg, peneliti senior dalam studi ini yang juga Direktur Pusat Kesehatan Global di Rumah Sakit Umum Massachusetts, mengatakan,“Perluasan perawatan HIV di Afrika membuat kemajuan besar dalam menjadikan orang lebih sehat dan lebih kuat, misalnya mereka bisa kembali bekerja, meningkatkan pekerjaan guna mendapatkan makanan bagi diri mereka sendiri dan keluarganya. Jadi perawatan HIV membantu memperbaiki akses mendapatkan makanan dengan cara yang sangat signifikan.”

Tetapi, Dr. David Bangsberg mengatakan memberi terapi anti-retroviral tidak berarti mereka akan terus menerus mendapatkannya. Salah satu alannya adalah kemungkin terjadinya efek samping obat-obatan itu.

Baik Dr. Bangsberg maupun Dr. Sheri Weiser sama-sama menyajikan temuannya di depan para pejabat badan-badan kemanusiaan PBB – PEPFAR atau Rencana Darurat Presiden Bagi Bantuan Kemanusiaan AIDS.

Mereka mengingat meskipun ada isu-isu HIV dan kelangkaan pangan, ini bukan merupakan masalah Afrika saja. Mereka mengatakan, kondisi-kondisi yang sama terjadi di antara warga miskin di Amerika Utara, termasuk kota-kota seperti San Fransisco, Atlanta, Boston, dan Vancouver. Mereka mengatakan sekitar 50% orang yang tertular HIV di daerah-daerah itu dan mendapatkan perawatan kini mengalami kelangkaan pangan.
XS
SM
MD
LG