Tautan-tautan Akses

Kekerasan Polisi Dorong Perempuan Turki Berdemonstrasi


Foto perempuan berbaju merah yang disemprot gas air mata oleh polisi memancing kemarahan publik, terutama perempuan, yang kemudian ikut demonstrasi. (Reuters/Osman Orsal)
Foto perempuan berbaju merah yang disemprot gas air mata oleh polisi memancing kemarahan publik, terutama perempuan, yang kemudian ikut demonstrasi. (Reuters/Osman Orsal)

Foto perempuan berbaju merah yang disemprot gas air mata oleh polisi di Turki telah mendorong perempuan-perempuan lain ikut berdemonstrasi.

Memakai rok terusan katun berwarna merah, kalung dan tas putih yang disandang di bahu, perempuan itu tampak seperti akan menghadiri pesta kebun. Namun seorang polisi bertopeng menyemprotkan gas air mata yang membuat rambutnya berkibar ke atas.

Foto perempuan tersebut kemudian beredar di media sosial dan digandakan sebagai kartun dalam poster dan gambar tempel, dan menjadi pendorong para demonstran perempuan untuk bergabung dalam protes anti-pemerintah di Istanbul.

“Foto itu merangkum esensi dari protes ini,” ujar mahasiswi jurusan matematika bernama Esra di Besiktas, dekat selat Bosphorus dan salah satu pusat protes-protes yang berlangsung minggu ini.

“Polisi melakukan kekerasan terhadap aksi damai yang dilakukan demonstran. Orang-orang hanya mencoba melindungi diri mereka dan nilai-nilai yang mereka yakini.”

Dalam sebuah gambar di dinding kota, perempuan berbaju merah itu digambarkan jauh lebih besar dibandingkan polisi, dengan slogan “Semakin disiram, semakin besar ukuran kita.”

Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menunjukkan kekhawatiran mereka mengenai aksi kekerasan polisi terhadap pemrotes.

Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan menyebut para demonstran ekstremis “yang bergandengan tangan dengan terorisme,” deskripsi yang bertentangan dengan citra perempuan berbaju merah.

Ada demonstran-demonstran yang memakai baju tempur dan topeng saat melemparkan batu, namun sejumlah besar perempuan sangat muda di Besiktas dan di Alun-Alun Taksim tempat protes bermula pada Jumat malam (31/5) tampak menonjol.

Dengan kacamata renang dan masker operasi untuk menahan gas air mata, serta syal di leher mereka, Esra, Hasine dan Secil berdiri teguh di distrik Besiktas Senin malam (3/6), bergabung dengan pemuda lain yang jumlahnya semakin meningkat.

Mereka termasuk, seperti juga perempuan berbaju merah, ke dalam kelompok perempuan-perempuan muda dan cerdas yang yakin mereka kehilangan sesuatu dalam kekuasaan Erdogan. Mereka merasa terancam dengan kampanye Erdogan untuk memakai jilbab, simbol kepatuhan perempuan.

Karir Untuk Perempuan


Para demonstran perempuan meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah dalam sebuah demonstrasi di Ankara (3/6). (Reuters/Umit Bektas)
Para demonstran perempuan meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah dalam sebuah demonstrasi di Ankara (3/6). (Reuters/Umit Bektas)
Banyak perempuan yang menunjuk pada undang-undang aborsi baru sebagai tanda bahwa Erdogan, yang mendorong masing-masing perempuan Turki untuk memiliki tiga anak, ingin membalikkan hak perempuan ke masa lalu dan mendorong mereka mendalami peran tradisional dan religius.

"Saya menghormati perempuan yang memakai jilbab, itu hak mereka. Tapi saya juga ingin hak-hak saya dilindungi,” ujar Esra.

“Saya bukan kelompok kiri atau anti kapitalis. Saya ingin menjadi pengusaha dan hidup dengan bebas di Turki.”

Mustafa Kemal Ataturk, pendiri republik sekuler yang dibentuk pada 1923 dari reruntuhan Kekaisaran Ottoman, mendorong perempuan untuk memakai baju seperti orang Barat, bukannya jilbab, dan mempromosikan citra perempuan profesional. Ironisnya, Erdogan saat ini terlihat sebagai pemimpin Turki paling dominan sejak Ataturk.

Ergodan pertama kali berkuasa pada 2002 dan popularitasnya tidak tersaingi sampai saat ini, berkat dukungan kuat kelompok konservatif.

Demonstrasi-demonstrasi akhir pekan lalu di puluhan kota menunjukkan bahwa popularitasnya mungkin menurun, paling tidak di kalangan kelas menengah yang mendukungnya pada awal-awal reformasi politik dan ekonomi yang memotong kekuasaan militer dan memperkenalkan amandemen hak-hak.

"Erdogan mengatakan bahwa 50 persen masyarakat memilihnya. Saya ada di sini untuk menunjukkan bahwa saya termasuk bagian dari 50 persen lagi, setengah populasi yang tidak dihormatinya, mereka yang ingin ia hancurkan,” ujar mahasiswi ilmu kimia, Hasine.

“Saya ingin memiliki masa depan di sini, di Turki. Karir, kebebasan untuk menjalani hidup saya. Namun semua itu terancam sekarang ini. Saya ingin Erdogan paham,” tambahnya.

Erdogan, pria religius yang menyangkal ambisi kelompok Islamis di Turki, menolak semua anggapan bahwa ia ingin menarik semua orang menaati agama. Ia mengatakan bahwa aturan terkait alkoholyang baru, yang juga ditolak perempuan, disahkan untuk melindungi kesehatan masyarakat, bukannya atas dasar agama.

Para demonstran datang dengan persiapan yang lebih baik saat ini dibandingkan saat kerusuhan mulai. Beberapa memakai topi keras, yang lainnya berpakaian hitam, dan sebagian besar memakai sepatu lari. Namun banyak yang berpakaian feminin seperti perempuan berbaju merah di Alun-Alun Taksim.

"Tentu saja saya khawatir dan saya tahu saya bisa mendapat bahaya di sini. Tapi untuk saya, hal itu tidak seberapa dibandingkan dengan bahaya kehilangan Republik Turki, kemerdekaan dan semangatnya,” ujar Busra, mahasiswi ekonomi berusia 23 tahun yang didukung orangtuanya ikut demonstrasi. (Reuters/Alexandra Hudson)
XS
SM
MD
LG