Tautan-tautan Akses

Jika Perjanjian Iklim Tercapai, Lalu Apa?


Asap membubung dari pembangkit listrik tenaga batubara di Colstrip, Montana, AS. (Foto: Dok)
Asap membubung dari pembangkit listrik tenaga batubara di Colstrip, Montana, AS. (Foto: Dok)

Salah satu isu terberat adalah pembiayaan untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka mengembangkan sumber-sumber energi yang berkesinambungan.

Harapan utama dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim selama dua minggu yang akan dimulai di Paris adalah bahwa hasilnya harus berupa rencana konkret dengan tujuan-tujuan yang dapat dicapai dari setiap negara yang berpartisipasi.

Hal itu berarti bahwa pada 2025, emisi-emisi karbon akan ada di tingkat jauh lebih rendah daripada sekarang. Namun begitu persetujuan dicapai, apa yang diperlukan untuk mengimplementasikannya?

Ada harapan dalam memberantas dampak-dampak planet yang semakin memanas, menurut anggota Kongres AS Don Beyer, yang merupakan anggota Komite Ekonomi Gabungan dan Komite DPR untuk Sumber-sumber Daya Alam.

"Amerika Serikat telah melakukan lebih banyak upaya dibandingkan negara lain dalam tujuh tahun terakhir untuk mengurangi jejak-jejak karbonnya. Banyak negara lain di seluruh dunia yang bekerja sangat keras. Saya sangat optimistis atas pertemuan di Paris yang terjadi dalam beberapa minggu mendatang. Bahkan penyumbang polusi besar seperti China dan India bersedia mengajukan rencana," ujar Beyer.

Namun, salah satu isu terberat adalah pembiayaan untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka mengembangkan sumber-sumber energi yang berkesinambungan. Profesor Mona Sarfaty dari George Mason University punya solusi yang memungkinkan.

"Peningkatan sel-sel fotovoltaik dalam panel-panel tenaga surya sangat besar dalam dekade terakhir, dan jauh lebih cepat dari yang dikira. Sekarang jauh lebih murah memproduksi energi surya dibandingkan jenis-jenis energi lainnya di beberapa tempat. Jadi yang harus dilakukan adalah menyebarkan energi surya yang diproduksi secara murah, jadi akan ada lebih banyak daerah yang bisa mendapat energi yang mereka perlukan dengan menggunakan tenaga surya atau angin, energi-energi terbarukan yang sekarang tersedia," ujar Sarfaty.

Pada saat yang sama, pembiayaan untuk negara-negara lebih miskin, untuk membantu mereka mengurangi emisi gas rumah kaca dan menanggulangi akibat pemanasan global tetap menjadi kendala terbesar, bahkan ketika kesenjangan semakin kecil.

Aliya Hag dari Dewan Pertahanan Sumber-sumber Daya Alam mengakui tidak ada solusi cepat.

"Negara-negara berkembang merupakan yang paling rentan terhadap dampak-dampak iklim dan mereka memerlukan bantuan dari negara-negara industri, yang bertanggung jawab atas sebagian besar polusi penyebab pemanasan global saat ini," ujarnya.

"Bukan berarti negara-negara berkembang tidak perlu mulai mengurangi emisi mereka saat ini, tapi kita perlu menemukan cara untuk memobilisasi pembiayaan yang cukup untuk memastikan mereka dapat membangun ketahanan dan siap untuk dampak-dampak iklim." [hd]

XS
SM
MD
LG