Tautan-tautan Akses

Jaga Tingkat Kematian Tetap Stabil, India dan China Butuh Udara Lebih Bersih


Seorang perempuan mengenakan masker di suatu hari yang penuh asap dan kabut di China
Seorang perempuan mengenakan masker di suatu hari yang penuh asap dan kabut di China

Jangankan menurunkan tingkat kematian akibat polusi di India dan China, menjaga agar tingkat kematian tersebut tetap stabil membutuhkan tindakan yang harus segera diambil untuk membersihkan udara, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada hari Selasa (16/6).

Hasil penelitian yang didapat dari sebuah model global baru yang menggambarkan bagaimana perubahan polisi udara dapat mempengaruhi tingkat penyakit, meyoroti keanehan demografi di dua negara Asia dengan perkembangan ekonomi yang paling cepat, di mana populasi muda telah berhasil menetapkan jumlah kematian akibat polusi relatif rendah walaupun perkembangan ekonomi yang sangat cepat telah mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Kedua negera tersebut sedang mempertimbangkan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk meningkatkan ketersediaan listrik dan bahan bakar. Kedua negara tersebut telah mengalami ledakan jumlah kendaraan di jalanan. Keduanya harus menangani ratusan orang miskin yang masih mengandalkan kayu bakar, minyak tanah dan apapun yang bisa ditemukan di sampah untuk menyalakan api untuk memasak dan menghangatkan diri di musim dingin.

Namun, ketika populasi kedua negara tersebut semakin bertambah usia, semakin banyak orang yang menjadi rentan terhadap kondisi kesehatan seperti penyakit jantung, kanker dan stroke yang disebabkan atau diperburuk oleh polusi udara. Negara-negara Asia yang dipimpin oleh India dan China bertanggung jawab atas 72 persen dari total 3,7 juta kematian tiap tahun yang disebabkan oleh polusi udara, melebihi total jumlah kematian yang disebabkan oleh AIDS dan Malaria.

Kedua negara tersebut sama sekali tidak mendekati pedoman/panduan kualitas udara yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Di India, tingkat polusi tetap meningkat.

“Dampak polusi udara melalui partikel pada kematian yang dapat dicegah, jauh lebih besar daripada yang orang sadari,” ujar Howard Frumkin, dekan Universitas Washington School of Public Health dan spesialis kesehatan yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Bahkan, jika seluruh dunia menurunkan polusi ke tingkat yang direkomendasikan oleh WHO, 2,1 juta kematian prematur dapat dicegah setiap tahun, menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Science and Technology itu.

Pengendara sepeda motor mengenakan masker di jalanan yang penuh polusi di New Delhi, India.Polusi udara di India
Pengendara sepeda motor mengenakan masker di jalanan yang penuh polusi di New Delhi, India.Polusi udara di India

Menurut penelitian tersebut, India dan China harus mengurangi tingkat rata-rata dari satu jenis partikel yang dapat dihirup yang disebut PM 2.5, sebanyak 20 sampai 30 persen hanya untuk mengimbangi perubahan demografi negara tersebut dan untuk menetapkan tingkat kematian yang stabil. Itupun masih belum sesuai dengan rekomendasi WHO yaitu10 mikrogram per meter kubik, namun bisa membantu menghindari beberapa ratus ribu kematian dini setiap tahun.

“Peluang untuk mencegah kematian dini dengan membersihkan udara sangat besar…terutama di China dan India di mana tingkat polusinya tinggi dan populasi yang terpapar polusi sangat besar dan padat,” ujar Frumkin.

Tindakan besar harus diambil untuk mengurangi angka kematian yang berhubungan dengan polusi di China, India dan negara-negara lain dengan polusi ekstrem. Contohnya, untuk memotong separuh angka kematian, negara-negara tersebut harus mengurangi PM 2.5 sebanyak 69 persen dari tingkat pada tahun 2010. Jika tingkat polusi tetap stabil, jumlah kematian di India akan meningkat sebanyak 21 persen dan 23 persen di China.

“Populasi semakin tua dan penyakit yang dipengaruhi oleh polusi udara akan menjadi lebih penting,” menurut penulis utama penelitian tersebut, Josh Apte, asisten professor teknik lingkungan di University of Texas, Austin.

Penelitian tersebut, salah satu dari penelitian yang pertama mengatasi pertanyaan tentang seberapa bersih udara yang diperlukan agar dapat mengurangi kematian dini, menggabungkan data polusi udara dari satelit global, data polusi darat, statistik populasi dan angka kematian yang diakui secara global mengenai lima penyakit utama yand disebabkan oleh polusi udara untuk menghitung potensi manfaat dan mencapai target pengurangan polusi.

Bulan lalu, WHO menyatakan polusi udara sebagai risiko kesehatan yang berhubungan dengan lingkungan yang terbesar. WHO berjanji untuk mengembangkan recana global untuk mulai membersihkan udara dalam waktu satu tahun. Namun, pada akhirnya, keputusan untuk bertindak ada di pemerintah nasional.

Polusi India mengenakan masker sambil mengatur lalu lintas di New Delhi, India.
Polusi India mengenakan masker sambil mengatur lalu lintas di New Delhi, India.

Walaupun negara-negara berkembang di Asia dianggap sebagai kontributor polusi udara terbesar, penelitian kematian global menunjukkan bahwa negara-negara Barat dapat secara kolektif menyelamatkan 500.000 orang dari kematian dini setiap tahun dengan cara mengurangi konsentrasi PM 2.5 sebanyak 2.5 persen.

“Semua orang berpikir bahwa keadaan udara di kawasan Barat baik-baik saja. Namun, ada manfaat kesehatan yang cukup besar jika udara di daerah yang sudah bersih juga diperbaiki,” ujar Julian Marshall, salah satu penulis penelitian tersebut dan professor teknik lingkungan di University of Minnesota. “Ini adalah suatu pengingat bahwa masih ada efek kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara” meskipun pada tingkat rendah.

"Bahkan di bagian dunia yang lebih bersih, polusi udara tetap memakan korban dalam jumlah yang cukup tinggi, tetapi masih sulit untuk divisualisasikan,” ucap Bert Brunekreef, direktur Institut Ilmu Kajian Risiko, di Universitas Utrecht di Belanda, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut. “Dalam sertifikat kematian, belum ada yang menuliskan polusi udara sebagai penyebab kematian.”

Belum lama ini India dan Cina meningkatkan standar PM 2.5, walau kedua negara tersebut tidak dapat diandalkan untuk memenuhi standar tersebut. 13 kota di India telah termasuk dalam daftar 20 kota yang paling tercemar di dunia. Selain itu, tiga kota yang termasuk dalam daftar tersebut terletak di Pakistan dan dua kota lain di Bangladesh, yang bertetangga dengan India.

Sementara China, yang pernah menjadi ikon polusi udara di dunia, jauh lebih maju dalam proses pembersihan udara mereka dengan sistem pengawasan yang canggih, yang dapat memberi peringatan ketika kondisi udara berbahaya bagi kesehatan penduduk. Saat peringatan tersebut disebarkan, sekolah boleh ditutup sementara, begitu juga dengan berbagai industri, dan kendaraan pemerintah dilarang beroperasi.

India masih belum mempunyai protokol darurat dalam menangani polusi udara. Undang-undang anti polusi secara luas diabaikan dan tidak diberlakukan. Indeks kualitas udara yang masih berkembang hanya mencakup beberapa kota dengan jaringan pengawasan yang tidak lengkap, dan seringkali ditemukan dalam kondisi yang buruk.

Para ahli mengatakan bahwa penelitian tentang mortalitas dunia menawarkan ide-ide dan peringatan penting yang sering diabaikan, bahkan bila hasil penelitian digeneralisasikan, dan tidak mempertimbangkan penyebab kematian lainnya, seperti merokok atau jelaga dari kompor rumahan.

Frumkin menggarisbawahi bahwa meskipun usaha nyata jelas menunjukkan bahwa perbaikan kualitas udara memberikan manfaat bagi kesehatan, usaha tersebut juga "terkait dengan langkah-langkah yang harus kita ambil untuk menangani perubahan iklim,” seperti beralih dari bahan bakar fosil ke teknologi tenaga surya dan angin. “Setelah itu, kita mengurangi emisi gas rumah kaca, memperlambat perubahan iklim, dan dengan demikian melindungi kesehatan manusia dengan berbagai cara."

XS
SM
MD
LG