Tautan-tautan Akses

Indonesia Minta AS Berlakukan GSP Aluminium Alloy


Dubes RI untuk AS, Dino Patti Djalal meminta Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) tetap memberlakukan GSP bagi Aluminium Alloy RI.
Dubes RI untuk AS, Dino Patti Djalal meminta Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) tetap memberlakukan GSP bagi Aluminium Alloy RI.

Indonesia minta AS tetap memberlakukan fasilitas Generalized System of Preference (GSP) bagi aluminium alloy yang telah dicabut tahun 2011.

Amerika tahun 2011 mencabut fasilitas pembebasan bea masuk --dikenal dengan sebutan GSP-- bagi produk aluminium alloy (campuran berlogam dominan aluminium) dari Indonesia. GSP umumnya diberikan negara-negara maju kepada negara-negara berkembang untuk membantu daya saing ekspor mereka. Namun, pemerintah Indonesia minta Amerika tetap memberlakukan fasilitas GSP bagi aluminium alloy RI. Hal ini diutarakan Dubes Indonesia untuk Amerika Dino Patti Djalal dalam dengar pendapat dengan panel GSP di Kantor Perwakilan Dagang Amerika (USTR) baru-baru ini.

Amerika tahun lalu mencabut fasilitas GSP untuk Indonesia bagi aluminium alloy –dalam bentuk plat, lembaran, dan kepingan aluminium. Pasalnya, nilai ekspor produk ini ke Amerika melampaui batas maksimal yang dimandatkan Kongres bagi pemberian GSP, yaitu USD 150 juta.

Namun, Dubes Dino kepada VOA mengatakan fasilitas tersebut perlu diperpanjang, karena untuk menjaga daya saing aluminium alloy di pasar Amerika, dan melindungi keberlangsungan hidup komunitas yang tercakup dalam industri aluminium dalam negeri.

Dubes Dino mengatakan, “Kami memperjuangkan agar ekspor aluminium RI tetap mendapat akses GSP dari Amerika, karena kalau tidak, produk itu akan dikenakan tarif impor 3 persen. Dengan tarif 3 persen, produk campuran aluminium tidak bisa sekompetitif dulu, dan akan berdampak buruk pada para pekerja dan keluarga dalam industri tersebut.”

Dalam dengar pendapat dengan panel GSP, antara lain beranggotakan panelis dari Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Perburuhan, dan Departemen Luar Negeri Amerika, dan juga dihadiri tiga perusahaan Amerika pengimpor campuran aluminium dari Indonesia (Empire Resources berbasis di New Jersey; Galex Inc di New York; Ta Chen International di Texas), Dubes Dino menyebut produk tersebut diproduksi oleh lebih 30.000 buruh yang hidup di wilayah dengan angka kemiskinan tinggi, seperti di Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatra Utara. Jadi, lapangan kerja ini sangat penting bagi mereka.

Apalagi, lanjutnya, setiap buruh harus menghidupi lima hingga delapan anggota keluarganya. Banyak bisnis kecil juga bergantung pada buruh pabrik aluminium alloy sebagai pelanggan mereka. Oleh karena itu, tegas Dubes Dino, bila produk tersebut kehilangan pasar ekspor Amerika, dikhawatirkan bisa memberi dampak lanjutan berupa PHK dan bisnis kecil gulung tikar.

Ia bahkan mengemukakan konsekuensi dari rencana kenaikan harga BBM sebagai pertimbangan perlunya perpanjangan GSP untuk produk tersebut.
“Kalau Anda lihat, di tengah lonjakan harga minyak, pemerintah mengurangi subsidi minyak, dan berakibat dinaikannya harga BBM. Di jalan-jalan, ada demo memprotes kenaikan harga BBM. Jadi sekarang Indonesia menghadapi tantangan ekonomi sulit. Ini memberi konteks politik dan ekonomi dalam permintaan kami,” ungkap Dino Patti Djalal lebih lanjut.

Untuk produk plat, lembaran, dan kepingan aluminium, Indonesia adalah eksportir terbesar ketiga di Amerika, setelah Kanada dan Jerman, dengan pangsa pasar sekitar 10%.

Untuk memperpanjang fasilitas GSP, Amerika mempertimbangkan sejumlah faktor yang menjadi bahan kajian. Seorang panelis dari Departemen Luar Negeri Amerika mempertanyakan komitmen Indonesia dalam melindungi hak kekayaan intelektual (HAKI).

“Aliansi HAKI Internasional baru-baru ini memasukkan petisi GSP mengenai Indonesia, menuduh kurangnya perlindungan HAKI di Indonesia. Kami belum memutuskan apakah akan menerima petisi itu. Namun, masukan mereka mempengaruhi pertimbangan kami secara permanent,” demikian diungkapkan panelis dari Deplu Amerika.

Selain isu HAKI, panelis Departemen Pertanian juga menjadikan penerbitan Peraturan Menteri Pertanian RI No.89/2011 sebagai pertimbangan untuk setuju-tidaknya memperpanjang GSP. Permentan RI itu menetapkan hanya ada empat titik yang diizinkan untuk masuknya impor sayuran dan buah, yaitu Pelabuhan Belawan-Medan, Bandara Soekarno Hatta-Tangerang, Pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya, dan Pelabuhan Makassar. Sementara Pelabuhan Tanjung Priok-Jakarta, yang selama ini menjadi pintu utama impor, akan ditutup. Peraturan ini akan diberlakukan mulai Juni mendatang.

Amerika merupakan tujuan ekspor terbesar ketiga bagi Indonesia setelah Tiongkok dan Jepang. Nilai ekspor RI ke Amerika yang tercakup dalam fasilitas GSP mencapai 1,9 miliar dolar tahun lalu, atau 10 persen total ekspor ke negara tersebut. Apakah USTR akan menyetujui atau tidak perpanjangan GSP aluminium alloy RI akan diketahui sekitar 30 Juni 2012.

Recommended

XS
SM
MD
LG