Tautan-tautan Akses

Ilmuwan Indonesia, AS Kembangkan Sistem Peringatan Tsunami Baru


Peta lokasi pusat gempa di Mentawai Maret 2016. (Courtesy BMKG)
Peta lokasi pusat gempa di Mentawai Maret 2016. (Courtesy BMKG)

Sebuah jaringan prototipe sensor bawah laut telah dipasang antara Padang dan Kepulauan Mentawai.

Sistem deteksi tsunami di Indonesia, yang terdiri dari sensor-sensor dasar laut yang berhubungan dengan pelampung transmisi di permukaan, telah menjadi tidak berguna karena dirusak vandalisme dan kekurangan dana.

Sekarang para ilmuwan Indonesia dan Amerika Serikat mengatakan mereka telah mengembangkan sistem baru dengan pelampung-pelampung yang mahal dan kemungkinan lebih cepat beberapa menit dalam memberi peringatan di kota-kota pesisir yang rentan.

Prototipe tersebut, dibuat selama hampir empat tahun, dirancang untuk mendeteksi tsunami dekat daratan dan telah dicoba di Padang, Sumatera Barat. Sistem ini masih menunggu keputusan soal pendanaan pemerintah untuk menghubungkannya dengan badan-badan penanggulangan bencana di darat.

Tsunami yang dipicu gempa pada 26 Desember 2004 di Samudera Hindia yang membuat hampir 230.000 orang tewas atau hilang, sebagian besar di Indonesia, memicu urgensi memastikan masyarakat memiliki peringatan secepat mungkin.

Namun ketika gempa besar menghantam dekat Kepulauan Mentawai, sekitar 170 kilometer dari Padang, Maret tahun lalu, tidak satu pun dari pelampung di daerah ini yang seharusnya mengirimkan peringatan tsunami bekerja.

Seorang pejabat pemerintah mengatakan ke-22 pelampung di Indonesia, yang harganya masing-masing beberapa ratus ribu dolar dan pengoperasiannya juga mahal, tidak ada yang bekerja akibat pengrusakan oleh awak kapal atau kurangnya dana perawatan.

Gempa di Mentawai itu tidak menimbulkan tsunami tapi evakuasi berlangsung ricuh di Padang, yang berpenduduk satu juta, dan kota-kota lain, yang memiliki waktu paling banyak 30 menit sebelum tsunami melanda. Karena kurangnya informasi, para petugas tidak membatalkan peringatan tsunami selama dua jam.

"Kini tidak ada pelampung di Indonesia. Semuanya rusak," ujar Iyan Turyana, insinyur kelautan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

"Jika Anda tinggal di Padang, di Bengkulu, hidup Anda sangat berbahaya."

Jerman dan Amerika Serikat menyediakan 12 dari pelampung-pelampung itu, tapi tidak merawatnya, ujarnya.

Aceh identik dengan risiko tsunami, tapi sekarang Padang dan kota-kota di dekatnya menghadapi bahaya lebih besar disapu gelombang-gelombang raksasa.

Untuk meningkatkan kemampuan deteksi, Jepang yang rentan tsunami telah menghubungkan puluhan sensor dasar laut di lepas pesisir timurnya dengan kabel-kabel serat optik sepanjang ribuan kilometer. Sistem itu memakan biaya beberapa ratus juta dolar dan upaya yang sama mustahil diterapkan di Indonesia.

Gempa Tidak Efektif

Namun dengan pendanaan US$3 juta dari Yayasan Sains Nasional AS, sebuah jaringan prototipe sensor bawah laut telah dipasang antara Padang dan Kepulauan Mentawai.

Pelampung-pelampung tidak diperlukan karena seismometer bawah laut dan sensor tekanan memberikan gelombang suara berisi data ke air permukaan yang hangat. Dari situ mereka berbelok kembali ke kedalaman laut, menempuh 20-30 kilometer ke simpul berikutnya di jaringan itu dan seterusnya.

Uji coba sistem peringatan regional tsunami di kantor Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Uji coba sistem peringatan regional tsunami di kantor Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Pada titik akhir bawah laut, jaringan itu memerlukan beberapa kilometer kabel serat optik untuk menghubungkannya dengan stasiun pantai di Kepulauan Mentawai di mana curahan data akan ditransmisikan oleh satelit ke badan meteorologi dan geofisika, yang mengeluarkan peringatan-peringatan tsunami, dan kepada para petugas bencana di Padang.

"Seluruh proses kemungkinan hanya perlu 1-3 menit bukannya 5-45 menit seperti sistem pelampung pada umumnya," ujar Louise Comfort, ahli penanggulangan bencana dari University of Pittsburgh yang memimpin proyek tersebut, yang juga melibatkan para insinyur dari Lembaga Oseanografi Woods Hole.

"Kami mendapat catatan gerakan seismis yang lebih cepat sehingga mendapatkan waktu beberapa menit yang sangat berharga," ujarnya. "Dan kami mendapat sinyal yang lebih jelas mengenai apakah akan ada atau tidak ada tsunami."

Memasang kabel itu akan memakan biaya pemerintah sekitar Rp 1,5 miliar, ujar Iyan dari BPPT. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sedang mempertimbangkan proposal pendanaan.

Sistem itu belum dipasang di mana pun, tapi dapat menjadi opsi bagi negara-negara atau wilayah miskin lain yang rentan tsunami.

Sejak 2004, mantra di antara para pejabat bencana di Indonesia adalah bahwa gempa merupakan peringatan tsunami dan sinyal untuk evakuasi segera. Tidak semuanya yakin sistem deteksi tsunami itu penting.

"Mengapa? Karena tsunami terlalu cepat untuk mencapai daratan. Setelah gempa, kita berevakuasi. Tidak perlu mendeteksi tsunami. Evakuasi saja. Itu opini keduanya. Itulah sebabnya sulit mendapatkan anggaran," ujar Iyan.

Namun tanpa sistem yang dapat diandalkan yang dapat mengurangi peringatan keliru, dampak peringatan keliru itu akan mengubah perilaku orang-orang, ujar pendukung jaringan deteksi.

Selain itu, deteksi dini dapat memberikan informasi penting kepada para pejabat bencana mengenai tsunami, seperti tinggi gelombang dan di mana serta kapan mereka akan menghantam daratan.

"Sistem ini akan memastikan tsunami benar-benar datang," ujar Febrin Ismail, insinyur struktural yang terlibat dalam penanggulangan gempa dan perencanaan tsunami di Padang.

"Kadang-kadang setelah gempa, orang-orang lari dan kemudian mereka melihat tsunami tidak ada. Nantinya mungkin mereka tidak akan lari lagi. Kami khawatir gempa itu tidak efektif." [hd]

Recommended

XS
SM
MD
LG