Tautan-tautan Akses

Fosil Buktikan Kemampuan Pendengaran Nenek Moyang Manusia


Fosil "Lucy", kerangka Australopithecus afarensis yang pertama ditemukan, dipamerkan di Museum Sejarah Alam Ethiopia. (Foto:dok)
Fosil "Lucy", kerangka Australopithecus afarensis yang pertama ditemukan, dipamerkan di Museum Sejarah Alam Ethiopia. (Foto:dok)

Sejumlah fosil berusia dua juta tahun, termasuk tiga tulang bagian dari gendang telinga, saat ini menjadi bahan penelitian tentang kemampuan pendengaran nenek moyang manusia pada era awal evolusi dari simpanse.

Sebuah kajian yang diterbitkan baru-baru ini, yang melibatkan dua spesies dari Afrika Selatan yaitu Australopithecus africanus dan Paranthropus robustus, menyimpulkan keduanya mampu mendengar lebih baik daripada simpanse ataupun manusia dalam frekuensi tertentu yang kemungkinan membuat mereka mampu berkomunikasi di habitat savana.

Kedua spesies itu memiliki campuran anatomi kera dan manusia. Keduanya juga mendiami ladang rumput, berbeda dengan keturunan awal manusia yang mendiami hutan.

Kedua spesies tersebut memiliki sensitivitas pendengaran maksimal untuk frekuensi yang agak lebih tinggi daripada simpanse. Keduanya juga mendengar lebih baik daripada simpanse dan manusia dalam frekuensi 1.0 hingga 3.0 kilohertz, kata pakar paleontologi Rolf Quam dari Universitas Binghamton di New York.

Suara-suara yang termasuk dalam rentang itu adalah semua huruf vokal dan beberapa konsonan, kata Quam.

"Ternyata, pola pendengaran ini mungkin lebih menguntungkan untuk kehidupan di savana. Di ruang yang lebih terbuka, gelombang suara tidak bergerak sejauh di dalam hutan sehingga komunikasi jarak pendek lebih bagus di savana," jelas Quam.

Garis keturunan manusia terpisah dari simpanse sekitar lima hingga tujuh juta tahun lalu, kata Quam, dan kemampuan pendengarannya mulai beradaptasi dengan perubahan gaya hidup.

Tulang Gendang Telinga

Untuk mempelajari kemampuan pendengaran kedua spesies itu, para periset menganalisa sejumlah fosil termasuk tulang-tulang kecil bagian dari gendang telinga yang disebut "ossicle." Mereka lalu merekonstruksi anatomi internal telinga itu dengan komputer.

Spesies kita, Homo sapiens yang berkembang sekitar 200.000 tahun lalu, sangat berbeda dari sebagian besar primata lain karena mendengar lebih baik dalam frekuensi yang lebih luas antara 1.0 hingga 6.0 kilohertz. Dalam rentang ini, manusia bisa mendengar banyak suara yang dihasilkan bahasa verbal.

"Saya ingin menegaskan kami bukan meragukan nenek moyang manusia mempunyai bahasa sendiri," kata Quam. "Jelas mereka bisa berkomunikasi dengan suara. Semua primata melakukan itu. Tetapi bahasa manusia baru muncul sesudah evolusi menjadi manusia."

Pakar paleontologi Juan Luis Arsuaga dari Spanyol mengatakan kemampuan pendengaran kedua spesies itu mengindikasikan bahwa suara mereka "akan terdengar aneh bagi kita, separuh simpanse separuh manusia."

Hasil riset ini diterbitkan dalam jurnal Science Advances. [th/dw]

XS
SM
MD
LG