Tautan-tautan Akses

22 Tahun Jadi Budak di Indonesia, Nelayan Myanmar Kembali ke Negaranya


Pejabat pemerintah memberi gelang pada nelayan-nelayan Myanmar sebagai alat identifikasi saat tiba di Tual, 4 April 2015.
Pejabat pemerintah memberi gelang pada nelayan-nelayan Myanmar sebagai alat identifikasi saat tiba di Tual, 4 April 2015.

Myint, salah satu dari 800 budak dan mantan budak yang diselamatkan atau di-repatriasi menyusul penyelidikan Associated Press selama setahun atas penyiksaan buruh yang parah dalam industri perikanan Asia Tenggara.

Myint merupakan salah satu dari 800 budak dan mantan budak yang diselamatkan atau di-repatriasi dari Tual, Maluku. Yang ia minta hanyalah kembali ke rumahnya. Terakhir kali budak asal Myanmar tersebut mengajukan permintaannya, ia dipukuli sampai nyaris mati. Tapi setelah pergi dari rumah selama delapan tahun dan dipaksa bekerja di atas kapal di Indonesia, Myint Naing bersedia menanggung risiko apapun untuk bertemu ibunya lagi.

Jadi ia terus menghiba, tapi sang kapten kapal bersumpah untuk membunuhnya jika mencoba kabur. Ia kemudian dirantai selama tiga hari tanpa makanan dan minuman.

Myint takut ia menghilang dan ibunya tidak tahu ke mana harus mencarinya.

Myint adalah salah satu dari 800 budak dan mantan budak yang diselamatkan atau di-repatriasi menyusul penyelidikan Associated Press selama setahun atas penyiksaan buruh yang parah dalam industri perikanan Asia Tenggara.

Bisnis makanan laut yang sangat menguntungkan di Thailand saja diperkirakan memiliki 200.000 pekerja migran, banyak diantaranya dipaksa bekerja di kapal setelah diperdaya, diculik atau dijual. Ini merupakan perdagangan brutal yang telah beroperasi selama puluhan tahun, dimana perusahaan-perusahaan bergantung pada para budak untuk memasok ikan ke Amerika Serikat, Eropa dan Jepang – untuk makanan di meja makan atau dalam mangkuk makanan kucing.

Myint, keluarga dan kawan-kawannya menceritakan kisahnya kepada Associated Press, yang juga mengikuti beberapa bagian perjalanannya. Ceritanya sangat mirip dengan kisah banyak dari lebih dari 330 budak atau mantan budak dari Myanmar, Kamboja, Laos dan Thailand yang diwawancarai AP.

Tahun 1993, seorang makelar muncul di desanya di Myanmar selatan dan menawarkan pekerjaan untuk pria-pria muda di Thailand. Myint baru berusia 18 tahun, dan tidak punya pengalaman bepergian, tapi keluarganya sangat membutuhkan uang. Ia diburu-buru pergi oleh sang makelar, sampai tidak sempat mengucapkan salam perpisahan dengan ibunya.

Sebulan kemudian, Myint dipekerjakan di kapal di Pulau Tual, Maluku, dikelilingi salah satu lading ikan terkaya di dunia. Sang kapten dari Thailand berteriak bahwa semua orang adalah miliknya sekarang: “Kalian orang-orang Myanmar tidak akan pernah pulang ke rumah. Kalian telah dijual, dan tidak ada yang akan menyelamatkan kalian.”

Pada periode tersibuk, para pria itu bekerja sampai 24 jam sehari. Tidak ada obat, makanan seadanya, dan mereka dipaksa minum air laut mendidih. Siapa pun yang jatuh atau sakit akan dipukuli kapten. Jika ada yang memperlambat ritme kerja akan dibunuh, atau beberapa terjun sendiri dari kapal.

Myint hanya dibayar $10 per bulan, atau tidak sama sekali. Tahun 1996, setelah tiga tahun, ia sudah muak dan memberanikan diri meminta pulang. Permintaannya dibalas dengan hantaman helm ke kepalanya.

Ia sempat kabur dan ditampung oleh seorang keluarga Indonesia yang iba kepadanya. Mereka menampungnya selama lima tahun, memberi makanan dan tempat tinggal, dan memberinya pekerjaan di lading. Tapi ia tetap ingin pulang.

Tahun 2001, ia mendengar seorang kapten menawarkan para nelayan pulang jika mereka setuju bekerja. Jadi, delapan tahun setelah sampai di Indonesia, ia kembali ke laut.

Tapi situasi ternyata sama buruknya, dan uang tidak diberikan. Bahkan perdagangan budak semakin parah, karena untuk memenuhi permintaan akan pekerja, para makelar terkadang membius dan menculik para buruh untuk mengangkut mereka ke kapal.

Setelah sembilan bulan di laut, kapten kapal mengatakan ia akan meninggalkan mereka dan kembali ke Thailand sendiri. Marah dan putus asa, budak asal Myanmar tersebut kembali meminta pulang, tapi kemudian ia dirantai.

Namun ia berhasil kabur setelah menemukan sekeping logam untuk membuka gembok rantai. Ia kemudian berenang tengah malam ke daratan. Myint tinggal sendirian di hutan di Tual, tak berani melapor polisi karena takut diserahkan kembali ke kapten kapal.

Ia menderita sakit yang ternyata stroke, membuat tangan kanannya lumpuh sebagian. Saat itu ia sudah lupa wajah ibunya dan tahu adiknya sudah dewasa.

Tahun 2011, kesepian terlalu mencekam sehingga Myint pindah ke pulau Dobo, di mana ia dengar ada komunitas kecil mantan budak Myanmar. Ia terus tinggal dalam kesunyian, bertahan hanya dengan sayuran yang ia tanam.

Suatu hari pada bulan April, seorang teman memberitahukannya bahwa laporan AP telah memicu pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan para budak dan mantan budak. Para pejabat datang ke Dobo dan membawa Myint kembali ke Tual, untuk bergabung dengan ratusan pria bebas lainnya.

Setelah 22 tahun di Indonesia, Myint akhirnya kembali ke rumah. Penerbangan ke ibukota Yangon sangat menakutkan awalnya. Myint, sekarang berusia 40 tahun, menjadi orang asing di negaranya sendiri.

Setelah sampai di desanya yang kecil, ia melihat seorang perempuan Myanmar yang gempal. Mereka berpelukan dan bertangisan. “Abang, syukurlah kau sudah kembali. Kami tidak perlu uang, kami perlu keluarga!” tangis adiknya.

Tak lama kemudian, ia melihat ibunya berlari ke arahnya. Myint melolong dan jatuh ke tanah. Sang ibu memeluknya dan mengusap kepalanya dengan lembut.

Akhirnya Myint bebas untuk melihat wajah yang sering muncul di mimpinya. Ia tidak akan pernah melupakannya lagi.

Recommended

XS
SM
MD
LG