Tautan-tautan Akses

Budayawan dan Aktivis Sayangkan Keputusan Mahkamah Konstitusi


Penolakan uji material Undang-Undang Penodaan Agama oleh Mahkamah Konstitusi memicu pro dan kontra. Masyarakat adat menilaianya sebagai pengabaian pluralisme. Sedangkan budayawan Franz-Magnis Suseno menilai keputusan itu menurunkan mutu demokrasi Indonesia.

Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin, telah memutuskan untuk menolak seluruh permohonan uji materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang diajukan oleh sekelompok individu dan LSM advokasi HAM, di antaranya Imparsial, ELSAM, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Dengan keputusan ini, maka UU Nomor 1/PNPS/1965 dinyatakan tetap berlaku.

Budayawan sekaligus pengamat masalah-masalah sosial, Franz Magnis Suseno, kepada VOA, Selasa, menilai keputusan MK itu dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu, walaupun ia tidak merinci pihak mana yang dimaksud.

“Keputusan yang terakhir dari MK ini memang bisa punya beberapa latar belakang, yang satu barangkali dianggap UU Penodaan Agama itu masih dianggap perlu, tapi dari pasal pertama saja perbedaan itu sudah dianggap penodaan, dan MK menolak masuk ke dalam detail dan MK mengikuti ancaman banyak pihak, yang menolak peninjauan UU tersebut karena takut nanti terjadi kekerasan,” ujar Franz.

Tekanan dari pihak-pihak tertentu, kata Franz Magnis Suseno, dapat menjadi hambatan dalam demokrasi di Indonesia. Ia mencontohkan perlindungan pemerintah yang minim untuk para pemeluk agama di luar enam agama resmi, termasuk kelompok Ahmadiyah.

“(Hal) itu sekarang sudah jadi hambatan dalam arti segenap keyakinan beragama di luar agama yang diakui, tidak mendapat perlindungan, ini diskriminasi dan pelecehan agama yang berat. Artinya, usaha untuk meningkatkan mutu demokrasi kita gagal,” tambah Franz.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, beberapa waktu lalu mengatakan, perlindungan maksimal untuk jamaah Ahmadiyah akan tetap diberikan, tetapi kasus itu jangan selalu dilihat dari segi pelanggaran HAM saja.

“Permohonan uji material ini tidak terlepas dari perjuangan kelompok tertentu dalam kasus Ahmadiyah. Terkait kasus Ahmadiyah, ketua umum PBNU menyatakan jangan bicara soal HAM dalam kasus Ahmadiyah, karena ia bukan agama tersendiri, ia mengaku Islam,” kata Amidhan.

Sementara itu, kelompok masyarakat adat sendiri menilai keputusan MK mengabaikan pluralisme. Daniel Yusmic dari Forum Masyarakat Timor mengatakan, “Harus ada jaminan pluralisme yang menjadi ciri khas Indonesia. Menurut kami, ke depan, harus dipertimbangkan apakah proses seleksi ini berhasil tidak merekrut orang-orang yang negarawan tidak di MK? Kalau tidak, kan percuma. Saya prihatin."

XS
SM
MD
LG