Tautan-tautan Akses

Afghanistan Buka Program S2 Pertama untuk Kajian Gender


Para aktivis perempuan Afghanistan dalam konferensi pers Amnesty International mengenai laporan ancaman terhadap aktivis perempuan, di Kabul, 7 April 2015. (AP/Massoud Hossaini)
Para aktivis perempuan Afghanistan dalam konferensi pers Amnesty International mengenai laporan ancaman terhadap aktivis perempuan, di Kabul, 7 April 2015. (AP/Massoud Hossaini)

Jutaan anak perempuan telah kembali bersekolah dalam 14 tahun terakhir, namun akses terhadap pendidikan tinggi masih terbatas.

Sekelompok mahasiswa Afghanistan berkumpul di kampus Kabul University yang teduh minggu ini untuk menghadiri kuliah program studi baru, yaitu program pascasarjana pertama di negara itu untuk kajian gender dan perempuan.

Kemajuan-kemajuan yang dibuat perempuan sejak pasukan yang dipimpin AS mengusir Taliban tahun 2001 disebut sebagai salah satu kemenangan perang, namun perempuan masih terpinggirkan dalam kehidupan politik dan menjadi target kekerasan publik dan di rumah.

Banyak yang khawatir situasi akan bertambah parah karena memburuknya keamanan di negara itu, ketakutan yang dipicu laporan-laporan mengenai kekerasan terhadap perempuan di Kunduz setelah Taliban secara singkat menguasai kota di bagian utara itu bulan lalu.

"Banyak perubahan terjadi pada perempuan, namun itu tidak cukup," ujar Zheela Rafhat, guru sekolah menengah dan salah satu dari 28 mahasiswa yang terdaftar dalam proram tersebut, yang akan membahas isu-isu seperti gender dan kekerasan.

"Keadaan lebih baik di ibukota dibandingkan di daerah-daerah pedesaan yang menghadapi banyak konflik."

Foto-foto Kabul di tahun 1960an dan 70an menunjukkan sebuah kota dimana para perempuan Afghanistan memakai rok mini dan sepatu hak tinggi, gambaran yang telah hilang sejak Taliban berkuasa tahun 1996.

Dengan pemberlakuan hukum Islam yang keras oleh kelompok tersebut, perempuan dewasa dan anak-anak dilarang muncul dalam kehidupan publik, termasuk bersekolah dan bekerja, dan harus memakai burqa ketika keluar rumah.

Jutaan anak perempuan telah kembali bersekolah dalam 14 tahun terakhir, namun akses terhadap pendidikan tinggi masih terbatas.

Adanya program studi perempuan di tingkat pascasarjana seharusnya membantu menyebarkan kesadaran dan menempatkan orang-orang yang dapat mempromosikan kesetaraan di tempat kerja, menurut pihak fakultas dan mahasiswa. Delapan belas mahasiswi dan 10 mahasiswa telah terdaftar dalam program tersebut.

Namun proyek ini bukannya tanpa kritik, karena beberapa orang melihatnya sebagai intervensi asing yang sesat. Program ini didanai oleh Korea Selatan dan dikelola oleh Program PBB untuk Pembangunan (UNDP) bekerjasama dengan pemerintah.

"Beberapa pihak tidak menganggapnya serius," ujar Nargis Nazer Hossain, mahasiswi 21 tahun dari Kabul. "Mereka pikir ini untuk kepentingan asing."

Keberatan-keberatan lain mengakar lebih dalam.

Ketika program itu dipresentasikan kepada Kementerian Pendidikan Tinggi, perlu dua bulan sampai program itu disetujui, ujar Ghulam Farooq Abdullah, dekan fakultas ilmu sosial universitas tersebut.

​Abdul Bari Hamidi, profesor studi Islam dan anggota komite kementerian yang menyetujui program pascasarjana baru, mengatakan ia keberatan akan program tersebut karena mendorong kesetaraan gender.

"Tidak ada kesetaraan gender dalam Islam," ujar Hamidi. "Dalam hubungan keluarga, kepala keluarga harus laki-laki, dan imam terbatas pada laki-laki."

Para dosen mengatakan program kuliah itu akan membahas topik tersebut, dengan tetap mempertahankan konteks budaya Afghanistan.

"Kuliah diberikan oleh para kolega dan profesor Afghanistan, berdasarkan realita dan masyarakat kita," ujar Nasrullah Stanekzai, profesor hukum yang mengajar hari pertama kuliah, Senin (26/10).

Meski demikian, Kabul University telah menjadi tempat protes-protes keras melawan hak-hak perempuan. Tahun 2013, ratusan mahasiswi berdemonstrasi melawan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, karena keberatan dengan dasar-dasarnya yang dianggap sekuler.

"Ada mahasiswa-mahasiswa di Kabul University dengan ide-ide radikal, namun tidak meluas," ujar Ahmad Zia Rafhat, dosen jurnalistik. "Beberapa mahasiswa yang kuliah di sini datang dari provinsi-provinsi dimana Taliban memiliki pengaruh yang lebih besar."

Tidak satupun mahasiswa yang diwawancarai kantor berita Reuters memperlihatkan kekhawatiran karena mengambil program tersebut. Mahasiswa-mahasiswa lain di sekitar ruang kuliah juga tidak menunjukkan keberatan atas program itu.

"Saya kira ini bagus," ujar Mushtaba Danish, mahasiswa tahun ketiga program S1. "Para pria perlu keahlian untuk masa depan." [hd]

XS
SM
MD
LG