Tautan-tautan Akses

Aliya Amitra - 2004-03-16


Muda. Demikian kesan pertama yang muncul, dan bukan tidak mungkin meluncur dari bibir mereka yang pernah bertemu dengan Aliya Amitra – atau Al, demikian dia akrab disapa. Sekilas Al bisa dibilang mewakili generasi yang berbeda dari seluruh staf yang ada di Suara Amerika, Seksi Indonesia. Kalau boleh meminjam terminologi yang dipopulerkan oleh Douglas Coupland, untuk menggambarkan generasi usia 20-an, mungkin Al bisa dibilang sebagai GenX atau Generasi X.

Namun berbincang-bincang dan bekerja dalam satu tim dengan Al, langsung menggugurkan stereotype label GenX, yang sekilas seperti melekat di penampilan Al.

Lulusan University of Maryland, The Robert H.Smith Business School ini, ternyata memiliki banyak karakteristik yang berbeda dari generasi seusianya. Kemandirian mungkin salah satunya, yang termanifestasi dalam berbagai bentuk. Pertama tentunya kemampuan Al beradaptasi dan kuliah di Amerika. “Mulanya sih aku takut dan minder, terutama bahasa Inggris, soalnya aku merasa bahasa Inggrisku ancur banget”, demikian ujar Al. Namun berkat kegigihan ditambah dukungan lingkungan kampus dan keluarga tempatnya tinggal, Al bukan hanya mampu menyelesaikan kuliah dengan Indeks Prestasi yang tinggi, bahkan menjadi mentor yang memberikan penyuluhan dan bimbingan bagi para mahasiswa baru.

Hal lain adalah kemandirian dalam bentuk finansial. Bekerja sambil kuliah di Amerika mungkin adalah hal yang lumrah, dan Al pun tidak luput melakukan hal yang sama. Di usianya yang masih belia, pengalaman kerja dan magang Al di berbagai perusahaan marketing, baik di Amerika dan Indonesia, cukup panjang. “Bekerja membuat aku lebih pelit, karena aku tahu bagaimana susahnya mencari uang”, jawab Aliya waktu ditanya apa nilai-nilai yang dia peroleh dengan bekerja. Menjawab pertanyaan mengapa kaum muda Indonesia jarang yang mau bekerja sambil kuliah, Al malah bercerita kalau dia pernah bekerja sebagai pramusaji di sebuah restauran Jepang di Jakarta, waktu dia masih duduk di kelas 2 SMA. “Mamaku tidak malu tuh, malah dia dengan bangga bilang, bahkan mengajak teman dan saudara-saudaranya ke restauran itu”, tambah Aliya. Keremajaan yang muncul kemudian adalah, Aliya langsung menghabiskan gaji sebesar 10 ribu rupiah yang diterimanya per hari dengan makan di McDonald.

Mengomentari mengenai kaum muda Indonesia, Al berpendapat bukannya mereka tidak bisa mandiri, tapi ada begitu banyak kemudahan yang dimiliki, membuat mereka enggan untuk keluar dari lingkaran kemudahan tersebut. “Padahal kebanyakan dari mereka rajin-rajin lho”, ujar Aliya. Karakter lain yang mencerminkan Al sebagai generasi berusia 20-an adalah rasa keingintahuannya yang besar. Tidak heran kalau dia begitu antusias bekerja di sebuah media penyiaran seperti Suara Amerika. Latar belakang pendidikan Al dalam bidang manajemen informasi sistem, memang membantu banyak dalam melakukan riset acara. Namun Al mengaku, dia juga belajar banyak untuk memproduksi siaran radio dan televisi.

Tapi jangan ditanya mau kemana seorang Aliya Amitra sepuluh tahun kedepan, karena jawabannya adalah “Belum tahu, maunya sih kerja di perusahaan yang punya nama beken”. Namun kalau bicara soal visi hidup, dalam kemudaannya Aliya dengan cepat menjawab, mau menjadi orang sukses dan mandiri. Apa arti sukses bagi Aliya? Hari ini, dia bilang, punya keluarga dan punya perusahaan sendiri, itulah sukses. Tapi siapa tahu, besok, sukses punya makna yang lain buat Al (?)

Jadi kalau dibilang Al adalah bagian dari GenX, generasi tanpa harapan, pemalas yang tidak memiliki motivasi, masih numpang dengan orang tua dan sulit memperoleh pekerjaan, wah ….. anda dan saya salah besar rupanya.

Oleh: Nia Sutadi

XS
SM
MD
LG