Tautan-tautan Akses

Wajah Dibalik Suara: Djoko Santoso - 2003-06-24


MOTOR BESAR. JAS. KAMERA. Tiga atribut yang melekat pada sosok penyiar senior Voice of America (VOA), Seksi Indonesia, Djoko Santoso. Apabila anda ingin mengenal lebih jauh penyiar yang akrab menyapa anda setiap petang dengan beragam informasi ini, mari kita telusuri satu per satu ketiga atribut tersebut.

"MOTOR BESAR" Benarkah motor besar lebih menarik dari wanita? “They never argue”, demikian ujar Djoko sewaktu ditanya mengapa dia jatuh cinta pada motor besar. Tidak heran apabila sebagian besar waktu senggang bapak dari 1 putra dan 2 putri ini, dihabiskan untuk merawat dan mempercantik 4 motor sport miliknya, yang bermesin antara 600 hingga 1000 cc. Suatu kemewahan yang menjadi mimpi Djoko sewaktu kecil sejak masih di Indonesia.

Sekaligus suatu ‘kemewahan’, yang tidak dapat dipungkiri, memiliki makna mendalam bagi pemiliknya. Makna pertama, tentunya saja ketika Djoko menikmati motor besarnya dengan berkendara di jalan-jalan sekitar Washington, DC, yang penuh dengan tikungan serta jalan naik-turun. Kerap pria asal Jawa Tengah ini melaju tanpa tujuan hingga sejauh 200 bahkan 300 mil.

“Saya merasakan hembusan angin menerpa ke seluruh wajah, disitulah saya merasa dekat dengan alam, merasakan kebebasan”, ujar Djoko mencoba mendeskripsikan pengalaman menggetarkannya dengan mimik wajah yang sulit digambarkan, sesulit kita memahami mengapa berkendara motor besar bisa menjadi obat ampuh menghilangkan stress dan berbagai masalah hidup baginya. Namun diluar semua perasaan dan ‘kemewahan’ yang diperolehnya, Djoko menguraikan beberapa prinsip hidupnya yang kemudian diterapkan saat berkendara di atas motor besar. “Saat saya menikung di jalan hingga kemiringan yang tajam, saya melakukannya dengan fokus dan memperhitungkan faktor resiko”, paparnya.

"JAS" Selalu hadir di ruang kantor VOA Seksi Indonesia rapi dan lengkap dengan jas dan dasi yang membalut kemeja di baliknya, membuat sosok Djoko Santoso mudah dikenali. Tampil rapi bisa jadi merepresentasikan kecintaan pria lulusan Universitas Negeri Jogjakarta, akan profesinya sebagai penyiar. Meskipun Djoko telah mulai menggeluti kehidupan sebagai penyiar di VOA sejak tahun 1985, namun dia telah menapaki karir sebagai peyiar jauh sebelum itu.

Djoko mengawalinya dengan menjadi penyiar pada sebuah radio swasta niaga di Klaten, untuk kemudian melompat ke RRI Jogjakarta dan berkarya di sana selama 9 tahun. “Saya selalu punya intuisi dan keyakinan, somehow akan berkarir di bidang yang berkaitan dengan radio dan bahasa Inggris”, demikian ujar Djoko sewaktu ditanya sejak kapan mulai jatuh cinta dengan profesi penyiar. Jelas intuisi dan keyakinan itulah yang telah memfokuskan dan menuntunnya untuk mulai terjun ke dunia penyiaran sejak tahun 1974 dan melanjutkan pendidikan pada jurusan bahasa Inggris. Namun terhadap keberhasilannya melangkah lebih jauh hingga ke VOA, pembawa acara musik TOP 10 setiap hari Minggu pagi ini, memberikan penghargaan yang besar kepada istrinya, Sri Santoso.

Dari istri yang telah mendampinginya dengan setia sejak tahun 1977 inilah, Djoko mengetahui informasi adanya kesempatan untuk bekerja di VOA. Setelah menjalani seluruh prosedur perekrutan, tepat 1 bulan setelah Djoko menyelesaikan kuliahnya, dia pun memboyong keluarganya ke ibukota Amerika, Washington, DC. “She is everything. Tanpa dia, hari ini tidak akan ada seorang Djoko”, tambahnya mencoba menggambarkan betapa pentingnya peranan Sri Santoso dalam separuh perjalanan hidupnya. Semua nampak berjalan sesuai di jalurnya, dan Djoko pun mengakui kalau dia sangat puas dan bahagia dengan pekerjaan yang telah dijalaninya hingga hari ini.

Uangkah ukuran kepuasan tersebut? “Bukan hanya dari segi penghasilan”, tampik Djoko, “Sebagai penyiar saya juga dapat memperkaya diri dalam hal memperoleh kesempatan belajar sesuatu yang baru setiap saat, untuk kemudian membaginya kepada orang lain”, tambahnya lagi yang sekaligus menutup perbincangan di bagian ini.

"KAMERA" Pernahkah anda mengamati seseorang dari balik lensa kamera? Itulah hobi lain yang dilakukan Djoko Santoso diluar kesibukannya sebagai penyiar dan bapak dari Ryan – yang sekarang telah bekerja di North Carolina, Katrin – juga telah bekerja, dan Rahmi – masih duduk di bangku SMA. “Pandangan manusia itu sudut pandangnya luas, sementara dengan kamera anda dapat mengamati dengan lebih fokus”, papar penggemar kamera Nikon ini.

Saat Djoko membidikkan kameranya secara close-up pada sebuah obyek, yang biasanya adalah orang, dia mengatakan dapat merasakan sesuatu yang tidak bisa diresapi secara kasat mata. Kasat mata. Persis seperti persepsi yang akan kita temui saat pertama bertemu dengan sosok yang satu ini. Sudut pandang mata kita yang luas tidak akan pernah menduga, seseorang yang selalu bicara apa adanya tanpa tedeng aling-aling dan segala atribut luar yang melekat pada dirinya, ternyata mempunyai nilai-nilai hidup yang menarik untuk dipahami. Trully believe in second chance. Nilai hidup yang dipetik Djoko dari pengalaman hidupnya yang penuh riak dan gelombang resiko.

“Percayalah bahwa semua sudah ada yang mengatur. Ikuti saja, anda akan merasa lebih optimis dalam hidup”, katanya berfilsafat. Tentu saja semua itu harus dibarengi dengan kerja keras. Nilai-nilai ini jugalah yang kemudian diturunkan Djoko kepada anak-anaknya, terutama mengingat lingkungan dan kondisi dimana ketiga anaknya tumbuh besar bertolak belakang darinya. Menghormati orang yang lebih tua, berke-Tuhan-an, adalah 2 hal lain yang ditanamkan Djoko dalam diri anak-anaknya, dan yang terakhir, just be yourself.

Semua nilai hidup yang dijalankan dan diturunkannya, terbukti berhasil membawa Djoko Santoso hingga hari ini, penyiar yang mencintai profesinya, ayah dari 3 putra yang telah menanjak dewasa, dan suami dari istri yang telah lebih dari seperempat abad mendampinginya.

Oleh: Nia Sutadi

XS
SM
MD
LG