Tautan-tautan Akses

WAJAH DI BALIK SUARA: Siti Nurjanah - 2003-02-25










Wartawan wanita yang sudah berkeliling dunia dan begitu mencintai dunia tulis-menulis, sampai-sampai ia menyebutnya sebagai “kebebasan tak bertepi,” kini bergabung dengan siaran Indonesia, Voice of America di Washington DC.

Menginjak dewasa, ia tumbuh sebagai pribadi yang gelisah dengan banyak hal, wooo, it is a big subject. Yaaaa, itulah Siti Nurjanah, berlapis-lapis dalam memandang satu hal saja. Termasuk ketidaksetujuannya dalam pengantian nama karena perkawinan. Dalam pandangannya penggubahan nama melibatkan konsep kepemilikan, kelas sosial, dan sejarah. Untuk itulah, ia memilih tetap menjadi Siti Nurjanah. Selain karena ketiga faktor tersebut, juga karena faktor kenyamanan. “Saya melihat tradisi pengubahan nama karena perkawinan bukan sesuatu yang lazim dilakukan orang-orang di Indonesia, katanya”

Bagi Nurjanah, pengalaman yang tidak selesai disyukurinya hingga kini, adalah kesempatan semasa jurusan belum dikotak-kotakkan. Ia mengatakan bahwa jurusannya sewaktu di Universitas Airlangga di Surabaya adalah Sastra Indonesia. Hanya, Prof. Soetandyo waktu itu memberikan penawaran mata kuliah seberagam mungkin pada mahasiswa, sebelum menentukan jurusan utamanya,” ujarnya.

Maka ia pun menikmati sedikit kebebasan untuk mengambil mata kuliah lain, termasuk mata kuliah tentang politik, komunikasi, dan Sosiologi. “Kini jurusan sastra telah menjadi fakultas tersendiri, sehingga mahasiswa yang tertarik pada bidang lain, tidak mungkin mengaksesnya. Memilih jurusan, sama artinya dengan memilih perangkap, kalau tidak suka dengan jurusannya, tidak punya pilihan lain,” begitu pendapatnya. “Bagi saya kenyataan ini benar-benar memprihatinkan.”

Rentetan yang membawanya ke dunia informasi terutama bidang kewartawanan, dibentuk dari beberapa pengalaman sebelumnya. Pada tahun 1995 bersama kawan-kawan dari Universitas Airlangga dan IAIN mendirikan kelompok belajar yang berangsur-angsur menjadi LSM dengan nama eLSAD (Lembaga Studi Agama dan Demokrasi) di Surabaya. Selanjutnya, ia membawahi Divisi Penelitian. Hingga kini, eLSAD masih terus menerbitkan Jurnal Gerbang tiga bulanan, yang banyak dimanfaatkan oleh kalangan akademisi dan peminat keilmuan.

Lalu, bergabung dengan Tabloid Oposisi grup Jawa Pos selama kurang lebih setahun. Di Tabloid ini ia menjadi reporter bidang kriminal dan hiburan. Ia sempat pula menjajal Jakarta, “hanya karena tak mampu menanggung rindu pada kota Surabaya, dengan terpaksa saya kembali, katanya. Kemudian menjadi koresponden untuk almarhum Harian Sore Surabaya Post, lalu koresponden Harian Pagi Surya sebelum bergabung dengan VOA Washington DC, sejak Pebruari 2003.

Kini, Nurjanah setiap petang rajin menyapa pendengar di Indonesia dengan acara newspaper headline, berita ekonomi, juga menjadi pemandu acara Forum VOA. Kebahagiaannya selama bekerja di VOA pertama-tama, benar-benar mampu mengobati kerinduannya terhadap aroma keindoensiaan selama tinggal di negeri Paman Sam. “Saya sering merasa tidak sedang berada di Amerika, kayak di Surabaya aja,” ujarnya, “soalnya banyak kru VOA dari Jawa, otomatis, kita sering ngomong dalam bahasa Jawa.” Lebih dari itu, terlibat dalam dunia yang sudah ia akrabi sebelumnya adalah kebahagiaan tersendiri. Dunia wartawan, terutama tulis-menulis, sangat ia kagumi, bagaimana kekuatan sebuah tulisan mampu membentuk pola pikir masyarakat.

Sejak dulu ia menyukai travelling, dan setelah menikah kesempatan travelling-nya pun meningkat. “Suami saya seorang profesor dalam Islam dan Politik mengenai South East Asia, jadi secara reguler ia harus mengunjungi negara-negara tersebut, dan saya sich happy saja bisa nimbrung sekalian bantu-bantu dia,” kata Nurjanah. Perjalanan yang paling mengesankan ketika di Peshawar, Pakistan, tahun lalu. “Kita naik bus umum dari Islamabad ke Pesahwar, sedikit menegangkan tetapi excited, kita menyaksikan fakta hidup masyarakat secara dekat sekali.”









XS
SM
MD
LG