Tautan-tautan Akses

Catatan Pinggir: Bul Do Gi, Bukan Bul Go Gi - 2003-01-14


“How are you?”, sapa kasir sebuah supermarket dekat apartemen saya di Maryland dengan ramah, sambil mulai memindai barang-barang belanjaan saya. Nampaknya good service bagi kasir tersebut berarti juga menjaga komunikasi yang baik dengan para pelanggannya. Jadi mulailah dia melanjutkan ‘keramah-tamahannya’. “How many dogs do you have?”, tanyanya tanpa pretensi apapun - paling tidak menurut saya - begitu melihat 5 container berisi ati ayam mentah yang saya beli. Meskipun saya tidak punya anjing seekor pun, namun rasanya tidak perlu juga saya jelaskan ke si kasir kalau saya adalah seorang penggemar berat ati ayam, mulai dari sambal ati, ati masak kecap, ati rebus, ati bumbu ayam goreng sampai ati-ati kebanyakan makan ati ayam.

Bukan sekali ini saja saya menghadapi pertanyaan seputar makanan dari orang asing. Pernah waktu di Jakarta, saya makan dengan mantan boss yang orang Amerika di sebuah food court. Dia memilih masakan Jepang cepat saji, sementara saya memilih gule otak dari sebuah restoran Padang. Si mantan boss nampak terkesima sewaktu saya menjelaskan bahwa yang sedang saya santap adalah otak seekor sapi. Kenapa sih? Wah ….. belum tahu dia, lezatnya soto babat, usus goreng, sup sumsum atau gule kepala ikan, begitu kata saya dalam hati menghadapi keheranan para orang asing, terutama para orang ‘bule’.

Lain lubuk lain belalang, itu kata pepatah. Mungkin memakan isi perut sapi atau ayam buat para orang asing ini, memang tidak biasa. Namun sepanjang pengalaman saya mencicipi berbagai masakan asing, jerohan ternyata juga masuk dalam daftar menu di berbagai masakan Cina, Vietnam, Ethiopia dan Jamaika. Babat dan urat sapi menjadi salah satu komponen dalam noodle soup di restoran Cina atau Vietnam. Kalau anda penggemar sup buntut, sekali-sekali boleh coba masakan Jamaika yang juga mengolah buntut sapi menjadi semacam kari. Nah … kalau yang namanya biang jerohan, mungkin masakan Indonesia bisa bersaing dengan masakan Ethiopia. Babat, hati, lidah dan paru biasanya dimasak sebagai sup kental atau digoreng dan dimakan dengan injera, semacam roti tipis, pengganti nasi.

Kalau orang asing merasa ciut melihat ‘keberanian’ masyarakat bangsa tertentu dalam menyantap makanan, saya malah punya pengalaman lucu. Suatu kali, saya cerita ke seorang teman, orang Indonesia, kalau saya pernah mencicipi daging kangguru, dalam sebuah festival masakan Australia. Kontan teman saya marah dan berkata begini: “Kok kamu tega sih, binatang itu kan lucu!”. Lho, di negaranya sana, hewan yang menurutnya imut-imut itu, memang dijadikan hidangan kok. Dan siapa bilang lucu, kata salah seorang teman yang tinggal di Australia, hewan satu ini jadi gak lucu kalau sudah menendang.

Rasanya tidak adil juga kalau dibilang orang ‘bule’ tidak punya masakan yang ‘aneh-aneh’. Contohnya bekicot yang dikasih nama keren escargot oleh orang Perancis. Wah … apa gak lebih ‘jijik’ membayangkan keong-keong yang merambat di dinding pagar rumah, terhidang diatas meja? Atau hati angsa, yang jadi makanan mewah di Eropa. Atau telur ikan, alias caviar, yang harganya setinggi langit. Dan ternyata orang Italia juga suka menyantap daging kelinci, yang juga masuk keluarga hewan imut-imut.

Membicarakan keragaman kulinari setiap bangsa memang tidak akan ada habisnya. Buat saya, itu jadi salah satu sarana mengenal lebih jauh suatu bangsa, sekalian memperkenalkan negara saya sendiri. Tentunya sesekali boleh juga tidak jujur. Seperti ketika saya berbincang-bincang soal makanan dengan teman dari Korea, Amerika dan El Salvador. Ada yang bertanya kepada teman Korea, apa benar anjing dimakan di sana? Dengan jujur teman saya itu mengiyakan. Katanya nama makanan daging anjing itu adalah Bul Do Gi. Kontan wajah teman-teman yang lain menyiratkan kengerian. Dalam hati saya bersyukur, aduh …. untung mereka tidak menanyakan pertanyaan tersebut ke saya …… kali ini silence is golden deh!

Salam, Nia Sutadi

XS
SM
MD
LG