Tautan-tautan Akses

Perubahan Iklim Ancam Persediaan Pangan Dunia


Buddy Hanse sudah bercocok tanam di sebelah selatan Washington, sepanjang hidupnya. Ia juga menjabat wakil Kepala Departemen Pertanian di negara bagian Maryland.

“Jagung yang kami tanam juga akan disalurkan untuk makanan ternak di daerah Eastern Shore di Maryland,” kata Hanse.

Tapi, panen jagung tahun ini tidak sebanyak biasanya. “Kami mengalami kesulitan dengan cuaca tahun ini,” tambah Hanse. “Kelembaban awal tahun ini sangat rendah.”

Maryland dan bagian timur Amerika Serikat menderita kekeringan cukup parah sepanjang tahun. Menurut Hanse, bila hasil panennya biasanya mencapai 260 gantang jagung per hektarnya, tahun ini, ia memperkirakan hasil per hektarnya hanya akan mencapai 30 gantang. “Biji jagungnya lebih kecil,” kata Hanse. “Tongkolnya juga lebih pendek dari biasanya. Kalau biasanya bisa 25 hingga 27 sentimeter.”

Memang tidak ada bukti ilmiah bahwa kekeringan tahun ini berhubungan dengan perubahan iklim. Walaupun begitu, kekeringan yang terjadi menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi persediaan pangan.

Riset Center for Global Development menunjukkan perubahan iklim menyebabkan produksi pangan global menurun 5 hingga 20 persen pada tahun 2080. Penurunan lebih drastis akan terjadi di beberapa negara. “India mungkin akan melihat penurunan 30 hingga 40 persen, sementara Afrika dan Amerika Latin 20 persen,” menurut penulis studi William Cline.

Chesepeake Bay adalah di Maryland adalah muara terbesar di AS. Lebih dari 250 spesies ikan dan udang hidup di perairan ini. Beberapa di antaranya, seperti kepiting biru dan ikan bandeng bergaris adalah jenis makanan berharga. Statistik keluaran pemerintah AS menunjukkan hasil panen dari muara ini menurun tajam beberapa tahun belakangan karena polusi dan penangkapan berlebihan.

Di Blackwater National Wildlife Refuge di Eastern Shore, tampak bahwa perubahan iklim mempengaruhi daerah tempat bertelur dan menetas untuk ikan dan kepiting. Lebih dari 3.000 hektar lahan rawa sekarang berada di bawah air karena peningkatan garis air laut.

Dixie Birch dari Departemen Pertanian Urusan Ikan dan Satwa Liar mengatakan bahwa studi menunjukkan hubungan antara peningkatan garis air laut dengan perubahan iklim. “Di daerah rawa dan tanah basah, penting untuk menjaga habitat untuk semuanya termasuk burung dan bahkan manusia, karena kita mengkonsumsi kepiting dan ikan yang ditangkap dari perairan tersebut,” katanya.

Menurut Birch, garis air laut akan terus meningkat, dan ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah kepiting biru dan ikan yang menjadi sumber pangan seperti ikan sebelah, ikan kakap dan spesies lainnya.

Buddy Hanse yakin petani di AS akan dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Tapi, mungkin tidak demikian halnya dengan komunitas pertanian subsisten di negara-negara berkembang. Center for Global Development mengatakan produksi pangan harus ditingkatkan dalam kurun 50 tahun mendatang untuk mengimbangi peningkatan populasi.

“Ada tanaman yang dapat ditanam tanpa butuh banyak air, seperti jerami, sorgum, dan kacang kedelai,” kata Hanse. “Kita perlu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi,” ujarnya.

XS
SM
MD
LG