Tautan-tautan Akses

Muhammad Ali


Muhammad Ali dikenal di Amerika sebagai lelaki gagah berani. Pertama ia menjadi terkenal karena kemahirannya bertinju. Selama 30 tahun setelah menggantung sarung tinju, keberanian yang ditunjukkannya sebagai petinju membantunya menjadi pejuang kemanusiaan.

Dalam beberapa pekan terakhir ini, Muhammad Ali mendapat dua penghormatan, dalam upacara yang dihadiri dua presiden Amerika dan banyak tokoh lain.

Pada pertengahan bulan November, Muhammad Ali termasuk di antara 14 orang yang memperoleh penghargaan sipil tertinggi, yaitu Medali Kebebasan Presiden. Ia mendapat tepukan hadirin ketika melakukan gerak seolah-olah sedang bertinju dengan Presiden Bush.

Beberapa hari kemudian, ia meresmikan Pusat Muhammad Ali, sebuah gedung berlantai enam yang bernilai 80 juta dolar, di kota kelahirannya, Louisville, Kentucky. Fasilitas baru itu menayangkan prestasinya dalam arena tinju, menjelaskan mengapa ia masuk Islam, dan menjadi ajang bagi para pemimpin untuk membahas isu-isu perdamaian dan keadilan.

Satu dari banyak tamu yang hadir adalah mantan Presiden Bill Clinton. Kepada Ali ia mengatakan: “Dunia menjadi tempat yang lebih baik berkat anda. Anda menggetarkan hati kami sebagai petinju, dan anda mengilhami kami sebagai kekuatan bagi perdamaian dan kerukunan, saling pengertian dan penghargaan.”

Ali adalah salah seorang warga Amerika yang paling terkenal di dunia selama puluhan tahun. Ali yang berumur 63 tahun, sekarang menderita penyakit Parkinson’s, mungkin karena kepalanya sering menjadi sasaran pukulan selama bertinju. Ia dapat menganggukkan kepala, tersenyum dan melambaikan tangan, tetapi tidak lagi dapat berbicara.

Muhammad Ali berhasil mengangkat olahraga tinju, dengan menggunakan statusnya sebagai selebriti, untuk memperjuangkan kemajuan sosial. Ia menjadi sensasi ketika masuk Islam, selagi kariernya mulai membubung. Ia menjadi tokoh kulit hitam dalam gerakan hak asasi. Putusannya untuk menolak wajib militer karena ia menentang Perang Vietnam, membuatnya kehilangan gelar juara, dan tersingkir dari arena tinju selama tiga tahun.

Tahun 1964, Muhammad Ali, mengguncang dunia sebagai petinju muda yang merobohkan sang juara. Tujuh tahun kemudian, Ali kalah dalam pertarungan kejuaraan. Sehari kemudian, harian Karachi Dawn di Pakistan, menyesalkan kekalahan itu, tetapi meramalkan bahwa Ali akan bangkit kembali. Ini memang terbukti menjadi kenyataan. Pada akhir tahun 1973, ia melakukan pertarungan di Jakarta, dan eksibisi di Surabaya, yang disaksikan 60 ribu penonton.

Ketika singgah di Singapura dalam perjalanan pulang, ia ditanya, apakah ia menyesal kehilangan gelar karena tidak mau ikut dalam Perang Vietnam yang dianggapnya immoral. Ia menjawab: “Sama sekali tidak. Kita harus melakukan apa yang benar.”

Penampilan publiknya yang terakhir terjadi secara dramatis pada tahun 1996, ketika ia, sambil gemetar karena penyakit Parkinson’s, menyalakan obor Olimpiade di Atlanta.

Di Pusat Muhammad Ali, pahlawan Amerika moderen ini akan dikenang, lebih karena dampak perjuangannya pada dunia daripada pukulan keras yang mendarat pada rahang lawan tinjunya.

XS
SM
MD
LG